Selasa, 22 Februari 2011

Pergolakan di Mesir Kian Genting

Pergolakan di Mesir Kian Genting

Pergolakan di Mesir Kian Genting

Kairo, situasi politik di Mesir makin tak menentu setelah kubu penentang dan pendukung Presiden Hosni Mubarak bentrok di Lapangan Tahrir, Kairo, sejak Rabu. Massa masih bertahan di lapangan tersebut hingga Kamis (3/2).

Suara tembakan masih terdengar hingga radius sekitar 200 meter dari Lapangan Tahrir di sela-sela teriakan massa dari kubu pro dan anti-Mubarak. Sementara helikopter militer terbang rendah di atas kerumunan massa di lapangan tersebut. Demikian dilaporkan wartawan Kompas Musthafa Abdul Rahman dari Kairo, Kamis malam. Semua akses masuk ke Lapangan Tahrir sudah ditutup pada radius 1 kilometer dari semua arah. Hanya warga pengunjuk rasa yang boleh masuk.

Massa anti-Mubarak masih menguasai pintu menuju Lapangan Tahrir dari arah Bundaran Talaat Harb. Sementara massa pro-Mubarak menguasai akses masuk Tahrir dari arah Museum Nasional. Jalan dari Bundaran Talaat Harb menuju Bundaran Abdel Mun’im Riyadh, yang terletak di belakang Museum Nasional, dijadikan kawasan pembatas yang dijaga dua barikade tank untuk memisahkan antara massa pro dan kontra-Mubarak. Dua barikade itu dipisah daerah penyangga selebar sekitar 50 meter. Meski sudah dipisah daerah penyangga, kedua kelompok massa masih saling melempar batu dan botol kosong.

Hari penentuan

Bentrokan antara dua kubu pecah, Rabu, setelah demonstran anti-Mubarak kecewa dengan isi pidato Mubarak, Selasa malam. Dalam pidato itu, Mubarak berkeras tidak mau lengser dan hanya berjanji tak akan mencalonkan diri lagi dalam pemilu September.

Pengerahan massa pro-Mubarak ke jalan-jalan di Kairo dan kota-kota lain di Mesir merupakan upaya terakhir pemerintahan Mubarak untuk menyelamatkan kekuasaan. Seorang pejabat senior Amerika Serikat mengatakan, ”Seseorang yang loyal kepada Mubarak mengerahkan orang-orang ini untuk mengintimidasi para demonstran.”

Stasiun televisi Al Jazeera menunjukkan, sebagian massa pro-Mubarak yang tertangkap ternyata membawa kartu tanda anggota satuan keamanan atau partai berkuasa di Mesir. Kubu oposisi sampai saat ini menolak tawaran dialog nasional yang disampaikan pemerintah. Mereka menegaskan, dialog hanya bisa digelar setelah Mubarak mundur. Salah seorang tokoh oposisi yang juga mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Mohamed ElBaradei, dalam wawancara dengan televisi BBCArabic, Kamis, menegaskan, pihaknya menolak berdialog dengan pemerintah sebelum Mubarak mundur.

Menurut ElBaradei, kubu oposisi menuntut tumbangnya rezim terlebih dahulu sehingga semua kekuatan politik yang akan melakukan dialog nasional nanti berada dalam posisi sama. ”Jika menerima dialog dengan pemerintah pada saat ini, berarti kami masih menerima dialog di bawah konstitusi yang berlaku sekarang. Ini sebuah kebohongan besar,” kata ElBaradei.

Sikap yang sama ditunjukkan partai dan kekuatan politik utama di Mesir, seperti Partai Tajamu’, Wafd, Nasseris, Al-Ghad, Lembaga Nasional untuk Perubahan pimpinan Mohamed ElBaradei, Gerakan Pemuda 6 Oktober, Ikhwanul Muslimin, dan aktivis politik kaum Kristen Koptik. Mereka sepakat meminta Mubarak mundur dahulu, kemudian digelar dialog nasional.

Menurut kekuatan-kekuatan politik utama itu, Jumat ini akan menjadi hari penentuan yang mereka sebut ”Jumat Pengusiran Mubarak”. Sebaliknya, Wakil Presiden Omar Sulaiman menegaskan hanya bersedia menggelar dialog dengan oposisi setelah mereka menghentikan unjuk rasa dan meninggalkan Lapangan Tahrir.

Pemerintah Mesir hingga saat ini masih menolak proses peralihan kekuasaan secara cepat. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Hossam Zaki menegaskan, seruan elemen-elemen asing agar dilakukan peralihan kekuasaan sekarang tak bisa diterima dan hanya akan memperkeruh kondisi dalam negeri Mesir.

Utusan khusus Presiden Barack Obama, Frank Wisner, yang menemui sejumlah pejabat tinggi Mesir, Selasa, mengajukan dua usulan sebagai solusi atas krisis di Mesir saat ini. Pertama, Mubarak segera menegaskan kepada rakyat bahwa ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilu presiden, September, dan tak akan mewariskan kekuasaan kepada putranya. Kedua, meminta Mubarak langsung melakukan peralihan kekuasaan sekarang.

Mubarak telah melaksanakan permintaan AS yang pertama itu, tetapi masih menolak permintaan kedua. AS dikabarkan masih mencari figur yang bisa dipercaya sepenuhnya sebagai kandidat pengganti Mubarak sehingga bisa terus menekan Mubarak agar mundur. Duta Besar AS untuk Mesir Margaret Scobey sudah beberapa kali menelepon Mohamed ElBaradei yang mengesankan bahwa AS menginginkan figur seperti ElBaradei untuk berperan pasca-era Mubarak.

ElBaradei mengajukan dua usulan untuk mengembalikan ketertiban Mesir pasca-Mubarak. Pertama, dibentuk dewan kepresidenan yang beranggotakan tiga tokoh, yakni seorang tokoh dari militer dan dua tokoh dari sipil.

Kedua, Wakil Presiden Omar Sulaiman menjabat presiden sementara untuk masa transisi. Dalam masa transisi itu, parlemen dibubarkan, kemudian disusun konstitusi baru, lalu digelar pemilu presiden dan parlemen yang bebas serta transparan berdasarkan konstitusi baru itu.

Juru bicara Ikhwanul Muslimin, Isyam Eriyan, mengatakan, proses perubahan di Mesir melalui dua tahap. Pertama, serah terima kekuasaan. Kedua, amandemen konstitusi serta melaksanakan pemilu parlemen dan presiden secara bebas dan transparan.

GEJOLAK MESIR 109 TEWAS HUSNI MUBARAK MASIH BERTAHAN

Mesir terus bergolak, Sudah 109 orang tewas. Ekonomi rugi Rp30 triliun. Mubarak bertahan. Peluru terus menyalak. Semenjak massa anti pemerintah tumpah ke Lapangan Tahrir 5 Februari lalu, sudah 109 nyawa melayang. Bentrokan sengit terus terjadi antara ratusan ribu massa anti pemerintah dengan massa pro pemerintah dan aparat keamanan negeri itu.
Hingga Minggu malam, 6 Februari 2011 ratusan ribu orang masih memenuhi lapangan di pusat kota itu. Rentetan tembakan masih terdengar. Sejumlah upaya mencari jalan tengah tampaknya gagal total.
Selain jatuhnya korban jiwa, perekonomian negeri piramida itu juga lumpuh total. Hingga Minggu kemarin itu, kerugian mencapai US$3,1 miliar atau sekitar Rp30 triliun.
Meski banyak korban jiwa dan ekonomi kian membisu, akhir dari kekacauan ini belum terlihat. Ratusan ribu orang di pusat kota itu, bersumpah bertahan hingga Hosni Mubarak turun dari kursi Presiden.
Dan optimisme mengalahkan Mubarak terus menyala. Massa anti pemerintah tidak rela perjuangan selama ini sia-sia belaka. "Kami harus mantap menggulingkan pemerintah," kata Ahmed Abdel Moneim, mahasiswa 22 tahun, yang sudah berhari-hari berkemah di Lapangan Tahrir.
Revolusi Prancis, tambah Abel, "Membutuhkan proses lama sebelum akhirnya warga mendapat hak-haknya. Jika memang kami harus menghabiskan sisa hidup untuk menyingkirkan Mubarak, kami akan lakukan."
Ratusan ribu demonstran lain juga berjuang dengan semangat yang sama. Sampai tuntas. Sampai Hosni Mubarak yang dituding bermental diktator itu pergi meninggalkan Istana. "Mungkin kami akan kehilangan energi selama satu bulan ini, tapi kami akan mendapat kebebasan dalam sisa hidup kami," kata Sharif Mohammed yang turut berjuang menyudahi 30 tahun kekuasaan Mubarak di Mesir.
Meski optimisme menyala, mereka tak bisa menutupi kondisi fisik yang melemah. Raut kelelahan, kelaparan, dan kurang tidur begitu jelas merayapi wajah mereka. Di beberapa tenda darurat, sejumlah demonstran pun terlihat menderita memar dan luka.
Sejumlah keluarga korban tewas bahkan siap menyerahkan nyawa demi memastikan berakhirnya rezim Mubarak. "Negara ini tidak memiliki kebebasan dan tidak ada pluralitas pendapat," kata Ahmed Mustafa, pria 58 tahun yang baru saja kehilangan putranya dalam bentrokan dengan massa pro Mubarak.


Siasat Hosni Mubarak


Meski negara di ambang kehancuran, Mubarak tak menyerah begitu saja pada kehendak mayoritas rakyat Mesir. Ia terus membuat berbagai strategi untuk mengamankan posisinya hingga akhir masa pemerintahan, September mendatang.
Setelah menyatakan tak akan maju sebagai calon presiden periode mendatang dan membuat kejutan mengangkat Omar Suleiman sebagai wakil presiden, Mubarak mencoba 'merayu' rakyat dengan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Partai Demokratik Nasional.
Televisi pemerintah Mesir, seperti dilansir Associated Press, menyatakan, pengunduran diri Mubarak dari kepemimpinan di partai berkuasa itu adalah respons atas kekacauan yang terus bergolak.
Keputusan itu bahkan diikuti anaknya, Gamal Mubarak, dan lima anggota komite pengarah sekretariat jenderal partai.
Kemunduran Gamal memperkuat pernyataan Wakil Presiden Omar Suleiman sebelumnya bahwa Gamal, yang dipandang sebagai penerus Mubarak, tidak akan maju sebagai calon presiden pada akhir masa pemerintahan sang ayah. Strategi lain juga dilakukan dengan menyudutkan posisi demonstran. Melalui tayangan kebrutralan demonstran, pemerintahan Mubarak berupaya menghasut rakyat Mesir bahwa demonstran adalah penyebab kekacauan yang membuat kota Kairo lumpuh. Berbagai strategi 'rayuan' itu tampaknya tak berhasil meluluhkan demonstran untuk membubarkan diri. Tindakan Mubarak dalam dua pekan terakhir justru meningkatkan kepercayaan demonstran bahwa mereka sudah diambang kemenangan.
Yakin menjadi pemenang itu juga diperkuat oleh sikap sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, yang mendesak agar Mubarak segera menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sementara demi menyudahi gejolak.

Pergolakan di Mesir, Mengingatkan Lagi Makna Pelajaran Sejarah

Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah adalah judul pidato yang fenomenal dari Bung Karno. Dari judulnya pun sudah penuh makna, apalagi kalau melihat langsung beliau berbicara, pasti semua rakyat rela berpanas-panas terik berjam-jam melihatnya.

Apa sih pelajaran sejarah? Saya pernah sangat keki ketika ada daftar pelajaran ini di SMA. Ditambah lagi saat itu, antara tahun 1988-1991 ada yang namanya PMP dan PSPB yang isi pelajarannya mirip-mirip.

Ternyata melihat kejadian di Tunisia dan Mesir, yang bergolak baru terasa hal itu penting.

Terutama Mesir, mirip sekali dengan Indonesia saat demonstrasi reformasi. Kita pernah mengalami rejim orde baru yang berkuasa 30 tahunan, dan rejim itu otoriter, hampir menguasai semua sendi-sendi pembangunan, oposisi dikebiri, kekuasaan waktunya tidak dibatasi dan akhir dari semua itu adalah sama, krisis pangan dan moneter yang memicu’ chaos’.

Kalau saja Mubarak mau belajar dari Indonesia di Mei 1998, mungkin dia mau berhenti berkuasa beberapa tahun lalu saat di puncak-puncak kejayaannya, supaya menjadi kenangan yang manis bagi rakyatnya.

Tetapi kalau ternyata dia jatuh dengan menyedihkan saat ini juga, maka kata-kata bijak ‘jasmerah’ dari sang proklamator mengenai sasarannya.

Dan sekarang, sudah ada Mei 1998 yang maksud awalnya menjatuhkan sebuah rejim, tetapi kita tidak pernah tuntas melakukan perbaikan. Sisa rejim lama masih ada, hanya bak kutu loncat pindah partai, ganti nama partai, ganti visi-misi supaya enak di telinga, tetapi pola pikir dan filosofinya tetap cara-gaya yang aromanya sama saja. Seperti makanan, semua masih pengandalkan pewarna buatan, pengawet dan penyedap rasa instant, bukan racikan bumbu baru dari rempah-rempah alami. Bagaimana kita mau belajar dari sejarah 13 tahun yang lalu di Indonesia? Dan menghubungkannya juga dengan fakta saat ini di Mesir yang mirip sekali kondisi kita Mei 1998. Haruskah hanya guru-guru sejarah yang membahasnya?

Sepertinya tidak hanya guru sejarah, kita semua harus mempelajarinya. Belajarlah dari Mesir hari ini. Sepuluh tahun batas sebuah rejim, ya 10 tahunlah. Mau mempertahankannya mati-matian dengan ditukang-tukangi, pasti bisa. Tetapi kalau pada akhirnya hanya hujatan dan caci maki didapat di akhir kekuasaan, alangkah sakitnya.

Berhentilah makan sebelum kenyang. Mungkin itu di kekuasaan juga sama, berhentilah berkuasa sebelum ‘kenyang’.Entah kenyang dari apa. Kami-kami yang tidak punya bakat berkuasa ini masih bingung memikirkan apa sih arti lapar bagi semua yang ingin berkuasa. Yang pasti bukan cuma gaji yang 19, 40 dan 63 juta.

Mesir Hosni Mubarak untuk membawa angin demokrasi dan reformasi ke negaranya tak digubris rakyatnya. Mereka kembali turun ke jalan dalam jumlah yang lebih besar dan menuntut tokoh yang sudah tiga dekade memerintah negara itu untuk turun. Bahkan di Suez, sebanyak 1.700 PNS menyatakan mogok untuk waktu yang tak ditentukan hingga Mubarak turun dan bergabung dengan demonstran.
Pidato Mubarak tengah malam sebelumnya tak bisa meredam amarah rakyat. Mubarak menyatakan memecat semua menterinya dan berjanji membentuk pemerintahan reformis.
Kantor berita Associated Press menyatakan bangunan parlemen dan kabinet telah diblokir oleh militer, mengcegah dikuasai massa. Al Jazeera melaporkan dari Kairo kota ini tampak seperti zone perang sejak sabtu pagi. Tank telah berpatroli di jalan-jalan ibukota sejak pagi. Pernyataan dari angkatan bersenjata Mesir diserukan berulang-ulang, meminta warga untuk menghormati jam malam dan menghindari berkumpul dalam kelompok besar.
Jumlah korban tewas dalam protes itu dilaporkan terus bertambah, sedikitnya nya 23 korban tewas dikonfirmasi di Alexandria, dan 27 orang di Suez, dan 22 di di Kairo. Lebih dari 1.000 juga terluka dalam protes kekerasan hari Jumat, yang terjadi di Kairo dan Suez, di samping Alexandria. Protes berlanjut sepanjang malam, dengan demonstran menentang jam malam malam.

Jelang Lengser, dibanding Mubarak Soeharto Lebih Bijak?

1296748347969656914

Dalam sebuah Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 33/XXXV/09 - 15 Oktober 2006 tersebutlah sebuah kisah, bahwa: tiga hari sebelum lengsernya Soeharto di Senayan Ketua MPR/DPR Harmoko bersama pimpinan Dewan lain meminta Soeharto turun takhta. Padahal, selama belasan tahun Harmoko membuktikan diri sebagai pembantu yang amat takzim. Bekas Menteri Penerangan itu adalah salah satu confidant, orang kepercayaan Soeharto selama separuh lebih masa kepresidenannya.

Dari Jalan Cendana, Soeharto menyaksikan semua kartu as lepas dari tangannya. Salah satu yang utama, faktor ekonomi. Indonesia pernah dijuluki “Macan Asia” karena keperkasaan negeri ini di bidang ekonomi. Sejarah pertumbuhan pada awal era Orde Baru pernah mencatat sejumlah prestasi. Ekonom Emil Salim pernah menulis bahwa indeks biaya hidup di Indonesia antara tahun 1960 dan 1966 naik 438 kali lipat.

Pemerintah saat itu menggulirkan antara lain kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk menyelamatkan ekonomi. Sebut contoh, Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967. Pemerintah membuka diri untuk penanaman modal asing secara bertahap. Dengan cara itu, inflasi bisa dijinakkan perlahan-lahan. Dari sekitar angka 650 persen (1966) hingga terkendali di posisi 13 persen (1969). “Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,” tulis Emil.

Hampir tiga dekade kemudian, Soeharto turun panggung dengan utang Republik tak terkira. Utang baru US$ 43 miliar (kini setara Rp 387 triliun) dari Dana Moneter Internasional, IMF, tak mampu menyangga nilai rupiah. Hari itu, 21 Mei 1998, pasar uang menutup transaksi dengan Rp 11.236 per dolar AS-terjun bebas dari Rp 2.500 per dolar AS. Pada awal 1998, rupiah sampai terjengkang ke jurang: Rp 17.000 per dolar AS.

Seorang pakar sistem dewan mata uang (currency board system/CBS) asal Amerika, Steve Hanke, didatangkan ke Indonesia menjelang kejatuhan Soeharto. Berkali-kali dia mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena lembaga ini khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. “Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh,” kata Hanke kepada Soeharto seperti diulanginya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Soeharto percaya. Dan Hanke diangkat sebagai penasihat khusus. Ia bahkan sempat menyebut CBS dalam pidatonya di depan Sidang Umum MPR 1 Maret 1998. Tapi utang terus melemahkan posisi Soeharto. Sembari para sekutunya lepas satu-satu.

Seakan belum cukup semua bala, Soeharto ditinggalkan pula oleh pilar yang dibinanya selama puluhan tahun: ABRI. Seorang jenderal purnawirawan yang cukup berperan pada era 1998 membuka ceritera ini kepada Tempo pekan lalu. “ABRI,” kata jenderal itu, “satu-satunya kekuatan yang disangka Pak Harto masih mendukungnya, juga meninggalkan dia.” Itulah pukulan telak terakhir yang menghantam jenderal tua yang sudah goyah itu.

Maka, pada Kamis malam 20 Mei-sebelum dia memanggil Wiranto dan Subagyo-Soeharto mengumpulkan putra-putri dan kerabatnya. Seorang tokoh dari lingkar dalam Cendana menuturkan kembali kenangan delapan tahun silam itu kepada Tempo, pekan lalu: “Titiek dan Mamiek (nama kecil Siti Hutami Adiningsih) menangis selama pertemuan.”

Dia juga menirukan kata-kata putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, yang bertanya kenapa ayahnya tidak mundur sesuai dengan jadwal. Siti “Tutut” Hardijanti Rukmana, anak sulung keluarga Cendana, membuka suara: “Sama saja, besok atau lusa Bapak harus mundur!”

Jadwal yang dimaksudkan Bambang adalah skenario awal mundurnya Soeharto yang telah disampaikan mantan presiden itu kepada keluarganya. Yakni, mengumumkan pembentukan Komite Reformasi pada 21 Mei, merombak kabinet pada 22 Mei. Dan, lengser pada 23 Mei. Namun apa daya, takdir berkata lain Jenderal besar harus turun tahta 2 hari sebelumnya, tanggal 21 Mei 1998.

Itulah drama politik 3 hari menjelang lengsernya Soeharto. Secara obyektif sifat kepemimpinan Hosni Mubarak dengan Soeharto miriplah, sama-sama otoriter dan anti demokrasi dengan membungkam para lawan-lawan politiknya. Namun akhir drama pelengserannya ternyata jauh beda. Meski Soeharto sudah bertahan lebih dari 30 Tahun memegang tampuk kekuasaan, namun akhir drama lengsernya berjalan sangat singkat, bahkan malah maju 2 (dua) hari dari rencananya semula tanggal 23 Mei 1998.

Namun di Mesir tekanan pelengseran presiden Hosni Mubarak ternyata tidak semulus dan sesingkat Soeharto. Disamping kekehnya Mubarak yang masih tetap ingin bertahan, presiden Hosni Mubarak malah menggalang masa pendukungnya untuk dibenturkan langsung dengan masa demonstran anti Mubarak. Keadaan ini tentu sangat menghawatirkan karena akan terjadi konflik horisontal yang cukup meluas di seluruh wilayah Mesir. Kalau melihat situasi kekinian di Mesir, bagaimanapun Soeharto masih mempunyai secuil kearifan untuk segera melengserkan diri tanpa adanya perbenturan horisontal antar masa yang pro dan kontra.


Pergolakan di Mesir Kian Genting