Minggu, 22 April 2012

Bahasa Indonesia di Persimpangan Jalan



Bahasa merupakan salah satu faktor pendukung kemajuan suatu bangsa karena bahasa  merupakan sarana untuk membuka wawasan bangsa (khususnya pelajar dan mahasiswa) terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan kata lain, tia  merupakan sarana untuk menyerap dan mengembangkan pengetahuan. Pada umumnya, negara maju mempunyai struktur bahasa yang sudah modern dan mantap.
Moeliono (1989) menegaskan bahwa untuk dapat memodernkan bangsa dan masyarakat, pemodernan bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting. Beliau mencotohkan apa yang dialami Jepang. Usaha pemodernan bahasa Jepang yang dirintis sejak Restorasi  Meiji telah mampu menjadi katalisator perkembangan ilmu dan teknologi di Jepang. Hal itu dapat dicapai karena semua sumber ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dapat  diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan cermat sehingga wawasan berpikir bangsa  Jepang dapat dikembangkan secara intensif lewat usaha penerjemahan secara menyeluruh dan besar-besaran. Hal ini menciptakan insan yang cerdas dan kompetitif tanpa harus  menunggu kefasihan berbahasa asing.
Gagasan tersebut telah mendorong usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia  sebagai bahasa yang bermartabat untuk tujuan keilmuan. Usaha ini telah ditandai dengan dibentuknya Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa) dan  diterbitkannya buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan  Istilah.  Walaupun publikasi tersebut belum secara tuntas menggambarkan aspek kebahasaan yang diharapkan, publikasi tersebut memberi isyarat bahwa untuk memantapkan  kedudukan bahasa Indonesia perlu ada suatu pembakuan baik dalam bidang ejaan maupun tata bahasa. Pembakuan ini merupakan suatu prasyarat untuk menjadikan bahasa  Indonesia sebagai bahasa keilmuan. Publikasi itu merupakan salah satu sarana untuk menuju ke status tersebut.
Keefektifan usaha di atas dipengaruhi oleh sikap dan tanggapan masyarakat (khususnya ilmuwan dan akademisi) terhadap bahasa Indonesia. Komunikasi ilmiah dan profesional dalam bahasa Indonesia belum sepenuhnya mencapai titik kesepakatan yang tinggi  dalam hal kesamaan pemahaman terhadap kaidah bahasa termasuk kosa kata. Sebagian ilmuwan dan akademisi masih memandang rendah kemampuan dan martabat bahasa  Indonesia sehingga tidak mempunyai minat untuk mengembangkannya. Bahasa baku sering malahan menjadi bahan ejekan. Beberapa kenyataan atau faktor mungkin menjelaskan keadaan ini dan menjadi kendala pengembangan bahasa keilmuan.
Pe r t a m a , kebanyakan orang dalam dunia akademik belajar berbahasa Indonesia  secara alamiah (bila tidak dapat dikatakan secara monkey see monkey do). Artinya orang belajar dari apa yang nyatanya digunakan tanpa memikirkan apakah bentuk bahasa  tersebut secara kaidah benar atau tidak. Lebih dari itu, akademisi kadangkala lebih menekankan selera bahasa daripada penalaran bahasa. Akibatnya, masalah kebahasaan  Indonesia dianggap hal yang remeh atau sepele dan dalam menghadapi masalah bahasa orang lebih banyak menggunakan argumen “yang penting tahu maksudnya.” Orang lupa  bahwa “tahu maksudnya” juga harus dicapai pada tingkat dan keakuratan yang tinggi khususnya untuk tujuan ilmiah. Lihat pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dalam  subbahasan Tugas Siapa di bagian lain tulisan ini.
       Kedua, bahasa Indonesia harus bersaing dengan bahasa asing (terutama Inggris).  Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada tingkat penggunaan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat umum tetapi juga dalam kehidupan akademik. Cendekiawan dan orang yang  berpengaruh biasanya mempunyai kosa kata asing yang lebih luas daripada kosa kata  Indonesianya (sebagian karena tuntutan untuk belajar bahasa asing ketika belajar di luar negeri) dan melupakan bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka merasa lebih asing dengan  bahasa Indonesia. Selanjutnya, mereka lebih nyaman menggunakan bahasa (istilah) asing untuk komunikasi ilmiah tanpa ada upaya sedikit pun untuk memikirkan pengembangan  bahasa Indonesia. Media massa juga memperparah masalah terutama televisi. Nama acara berbahasa Inggris tetapi isinya berbahasa Indonesia. Apakah bahasa Indonesia  ataukah penyelenggara acara yang miskin kosa kata? Kalau tidak, apakah menggunakan bahasa Indonesia kurang bergengsi, kurang mampu, dan kurang bermartabat?
Ketiga, dalam dunia pendidikan (khususnya perguruan tinggi) sebagian buku referensi atau buku ajar yang memadai dan lengkap biasanya berbahasa asing (terutama Inggris) karena memang banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di luar  negeri. Sementara itu, kemampuan bahasa asing rata-rata pelajar dan mahasiswa dewasa ini belum dapat dikatakan memadai untuk mampu menyerap pengetahuan yang luas dan  dalam yang terkandung dalam buku tersebut. Kenyataan tersebut sebenarnya merupakan implikasi dari suatu keputusan strategik implisit yang didasarkan pada asumsi bahwa  setiap pelajar harus sudah fasih berbahasa Inggris setamatnya dari sekolah sehingga bahasa Inggris mempunyai kedudukan istimewa dalam kurikulum sekolah. Selain itu,  digunakannya buku teks berbahasa Inggris didasarkan pada gagasan bahwa jaman sekarang telah mengalami globalisasi dan banyak orang berpikir bahwa  globalisasi harus  diikuti dengan penginggrisan bangsa dan masyarakat. Strategi ini tidak hanya merasuki pikiran pengambil keputusan di bidang pendidikan di tingkat institusional tetapi juga di  tingkat individual guru atau dosen. Pikiran semacam ini sebenarnya merupakan suatu kecohan penalaran (reasoning fallacy). Di Jepang, globalisasi dimaknai sebagai pengglobalan bangsa atau negara bukan pengglobalan individual. Di Indonesia, globalisasi tampaknya dimaknai sebagai penginggrisan masyarakat Indonesia sampai pada lapisan  masyarakat dan tingkat pendidikan yang paling bawah (taman bermain dan taman kanak-kanak). Kalau globalisasi dimaknai dengan penginggrisan masyarakat, yang sebenarnya terjadi adalah gombalisasi (penggombalan) masyarakat.
Keempat, kalangan akademik sering telah merasa mampu berbahasa Indonesia  sehingga tidak merasa perlu untuk belajar bahasa Indonesia atau membuka kamus bahasa Indonesia (misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia). Akibatnya, orang sering  merasa lebih asing mendengar kata bahasa sendiri daripada mendengar kata bahasa asing. Anehnya, kalau orang menjumpai kata asing (Inggris) yang masih asing bagi  dirinya, mereka dengan sadar dan penuh motivasi berusaha untuk mengetahui artinya dan mencarinya di dalam kamus dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa kata  itu aneh. Akan tetapi, kalau mereka mendengar kata bahasa Indonesia yang masih asing bagi dirinya, dia merasa itu bukan bahasanya dan akan bereaksi dengan mengatakan “Apa  artinya ini, kok aneh-aneh?” dan berusaha untuk tidak pernah tahu apalagi membuka kamus dan menggunakannya secara tepat.
Kelima, beberapa kalangan masyarakat termasuk profesional (karena ketidaktahuannya) sering menunjukkan sikap sinis terhadap usaha-usaha pengembangan bahasa. Lebih dari itu, menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar belum merupakan suatu  kebanggaan atau gengsi bagi penuturnya. Suatu struktur bahasa yang baik dan benar justru sering menjadi olok-olok sebagaimana ditunjukkan seorang penulis di sebuah majalah  terkenal yang menganjurkan untuk mengganti Pusat Pembinaan Bahasa dengan Pusat Pembinasaan Bahasa.  Penulis tersebut tampaknya tidak dapat membedakan antara  bahasa baku dan ragam bahasa.
sumber : http://www.google.com/bahasa-indonesia-dipersimpangan.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar